Perjalanan Psikologis Ibu Baru: Menavigasi Kompleksitas Peran “Baru”

Kesehatan

comment No Comments

By Ibu Gendis Ayu

Gendisayu.com | Psikologis Ibu Baru – Bagaimana rasanya menjadi seorang ibu baru? Jika pertanyaan ini ditujukan untuk saya, maka jawaban saya 90%nya adalah bahagia dan 10%nya adalah sedih. Loh kok jadi ibu membuat sedih? Berikut ceritanya.

Spikologi Seorang Ibu Baru

Menjadi seorang ibu adalah salah satu peristiwa paling transformatif dalam kehidupan saya sebagai wanita. Sebelum menikah, saya seorang traveler yang terbiasa bepergian ke berbagai daerah setiap 3 bulan sekali. Saat menjadi seorang Ibu, mau tidak mau harus gantung ransel untuk waktu yang belum bisa ditentukan.

Tentu, menjadi Ibu membawa kegembiraan yang luar biasa. Tapi peran sebagai seorang ibu juga membawa tantangan baru yang dapat memengaruhi dimensi psikologis seorang wanita.

Maka tak jarang ada Ibu yang mengalami baby blues atau depresi pasca persalinan. Karena menjadi Ibu memang tak semudah yang dibicarakan pada buku-buku parenting. Dan tidak semua Ibu hidup di lingkungan yang sama.

Euforia Kehadiran Si Kecil

Ketika seorang wanita baru menjadi ibu, kehadiran bayi membawa gelombang euforia yang mendalam. Apalagi Gendis Ayu yang seorang anak pertama, cucu pertama, buyut pertama, dan ponakan pertama di keluarga kami. Tentu mengundang segudang perhatian dari keluarga.

Seorang Ibu tentu ingin menikmati keintiman dengan bayi, menyaksikan senyuman kecilnya, dan suara tangisan yang memberi tahu dunia bahwa kehidupan baru telah dimulai. Momen-moment tersebut adalah hal yang tak ternilai.

Dari sisi psikologi, peristiwa ini dapat menginduksi perasaan cinta yang mendalam dan memberikan pemenuhan emosional yang tak tertandingi.

Tantangan Sleep Deprivation

Meskipun kebahagiaan yang membawa kehadiran bayi, tantangan utama yang dihadapi oleh ibu baru adalah kurangnya tidur. Pada pengalamanku, 40 hari pertama menjadi seorang Ibu adalah masa-masa terberat. Apalagi saya dan suami memutuskan untuk “mandiri”. Tanpa bantuan pihak ketiga, termasuk orangtua kami.

Sleep deprivation atau kurang tidur dapat mempunyai dampak besar pada kesehatan mental. Rasa lelah yang terus-menerus dapat memicu perasaan stres dan kecemasan. Saya sendiri nyaris baby blues pada masa ini. Apalagi saat awal menyusui harus survive dengan kondisi puting lecet.

Sleep deprivation tentu dapat menjadi tantangan psikologis yang signifikan karena ibu baru harus menemukan keseimbangan antara merawat bayi dan memenuhi kebutuhan diri sendiri untuk istirahat.

Perubahan Identitas

“Wah ada Ibu Gendis. Apa kabar Ibu Gendis?”

Siapa di sini yang mengalami hal serupa. Seperti kehilangan identitas saat menjadi ibu. Nama kita tergantikan dengan label “ibu (nama anak)”.

Hal ini ternyata berpengaruh pada psikologi Ibu baru loh. Di mana peran sebagai ibu juga seringkali menghadirkan perubahan identitas yang signifikan.

Seorang wanita yang sebelum menjadi ibu, mungkin terbiasa dengan kebebasan dan independensi mereka. Tapi setelah menjadi ibu, tak jarang si anak menjadi lebih terkenal dibandingkan si ibu. Hingga membuat orang memanggilnya “ibu Gendis”, bukan lagi “Putri”. Hal ini ternyata bisa memicu perasaan kehilangan identitas diri yang lama dan menciptakan kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara peran ibu dan identitas pribadi.

Tekanan Sosial dan Ekspektasi

Saya pernah bertanya-tanya, apakah untuk menjadi seorang ibu harus punya “akreditas”? Karena tak jarang orang-orang di lingkungan kita “mengintervensi” otoritas kita.

Setuju tidak, jika seorang ibu baru sering kali dihadapkan pada tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi? Baik dari diri sendiri maupun dari masyarakat. Munculnya media sosial tak jarang malah membuat stres dan menciptakan standar yang sulit dicapai.

“Kok anak kamu belum bisa bicara? Padahal udah 1 tahun. Anak si A udah bisa”

“Kok anak kamu badannya kurus? Malas masak ya ibunya”

“Duh kok sesar sih? Pasti nggak mau sakit ya”

“Kok kamu tega biarin anak kamu tidur sendiri?”

“Kok cuma ASI? Kasih sufor juga dong”

“Itu anak kamu masih lapar, ASI kamu kurang. Udah kasih sufor aja”

“Dulu nggak apa-apa tuh dikasih makan dari 3 bulan. Udah kasih makan aja sekarang”

Hhmmmm….

Tentu pertanyaan di atas mungkin pernah terdengar di telinga seorang ibu. Tekanan sosial dan ekspekasi dari lingkungan ternyata sangat memberikan psikologi ibu baru.  Hal ini dapat menimbulkan tekanan psikologis tambahan, perasaan tidak pasti, kekhawatiran, dan meragukan kemampuan diri sendiri sebagai ibu.

Mencari Dukungan Emosional

Dalam menghadapi kompleksitas peran sebagai ibu, dukungan emosional menjadi kunci. Ibu baru dapat mencari dukungan dari pasangan, keluarga, teman, atau komunitas.

Saya sendiri, memilih untuk memperbaiki komunikasi dan saling sepakat urusan parenting dengan suami. Kalau ada masalah yang benar-benar tidak dapat kami atasi, baru kami akan meminta pendapat dari pihak ketiga, seperti orangtua atau tenaga profesional lain.

Seperti saat puting lecet kemarin. Aku memilih untuk konsultasi kepada AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) Kalimantan Selatan. Di mana selain konsultasi ASI, saya juga bisa sharing tentang suka duka selama menjadi ibu.

Berbicara tentang pengalaman, merasa didengar, dan mendapatkan nasihat dapat membantu mengurangi beban psikologis dan meningkatkan kesejahteraan mental. Memelihara komunikasi dengan pasangan merupakan salah satu cara terbaik untuk mencari dukungan emosional.

Penutup

Perjalanan psikologis seorang wanita yang baru menjadi ibu adalah kombinasi antara euforia, tantangan, dan perubahan yang mendalam. Sementara kehadiran seorang anak membawa kebahagiaan yang tak tergantikan. Ibu baru juga menghadapi perubahan besar dalam identitas mereka dan menghadapi tantangan psikologis seperti kurang tidur dan tekanan sosial. Dukungan emosional dan keseimbangan antara peran ibu dan identitas pribadi dapat membantu mengatasi tantangan ini dan memungkinkan ibu baru menikmati perjalanan penuh makna menjadi seorang ibu.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Leave a comment