“Gendis, boleh nggak kalau suatu saat Ibu memilih menjadi orang yang egois?”
Siang itu, kami duduk di teras belakang rumah. Gadis kecil itu sedang asyik bermain air di bak. Cuaca siang itu sedang panas. Seperti hatiku yang sedang berkecamuk.
Maaf nak. Ucapku lirih sambil berusaha tersenyum melihat tingkah lakunya. Aku senang melihat ia tersenyum dengan bahagia sambil memainkan air. Hanya saja, aku yang sedang tidak bahagia.
Di tengah lamunanku, gadis kecil itu memanggilku dengan suaranya yang merdua “bu… ibu”
Seketika tangisku pecah. Gadis kecil yang sedang asyik bermain itu pun langsung merentangkan tangannya dan memelukku erat. Ku peluk erat tubuh mungilnya. Sungguh aku tak ingin ia memikul beban yang sedang aku rasakan.
“Maaf nak, maaf”
Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Tubuhku bergetar hebat ketika kami berpelukan.
“Nak, apakah kelak kamu akan mengatakan ibu adalah orang yang egois? Karena ibu memilih untuk bahagia dengan cara ibu?”
“Apakah kelak kamu akan membenci ibu dengan keputusan yang kelak akan ibu ambil”
“Nak, kamu boleh membenci ibu karena tidak bisa bertahan. Tapi ketahuilah, bahwa ibu sudah sangat berusaha. Bahwa ibu sudah sangat berjuang untuk bertahan.”
“Bukan bapakmu yang salah, memang ibulah yang lemah. Memang ibulah yang tak bisa bersabar”
“Tapi ibu ingin kamu bahagia karena punya ibu yang bahagia nak. Bukan ibu yang suka marah-marah, bukan ibu yang sabarnya setipis kertas, hanya karena masalah yang tak bisa ibu selesaikan dengan sabar”
Bukan kamu yang salah nak
Seketika gadis kecil itu ikut meneteskan air matanya. Aku pun bergegas menghapusnya.
“Jangan nak. Jangan menangis. Kamu harus bahagia. Kamu tidak harus menanggung beban ini. Ibu janji apapun yang terjadi, walau pun kelak kita tak akan sama, kamu tetap akan mendapatkan cinta yang utuh”